Jumat, 04 Juni 2010

INDIKATOR PENDIDIKAN - 01

On Thu, 3 Jun 2010 11:50:08 +0800 (SGT)
Dwinarputra Ruky <rdwinarputra@yahoo.co.id>

> John Oxenham (1984:34) mengatakan bahwa apabila lulusan suatu sekolah (SMK) dapat dipekerjakan atau memperoleh pekerjaan yang sesuai dengan jenis dan tingkat pendidikan yang dimilikinya, sekolah atau guru-guru dianggap telah berhasil dengan tugasnya. Hal ini berarti sekolah  dianggap mampu memenuhi kebutuhan masyarakat atau dunia kerja.
Bagaimana dengan Statment :
> SMK mencetak BURUH dinegeri sendiri ?  ..................
> Salam

Dari:
"g.raharjo@telkom.net"
Gak masalah kan mas?
Memang cuma ada 2 kelas pekerja: Bos (owner) dan Buruh.
Itu hanya masalah konotasi bahasa yang sudah menjadi  negatif artinya, seolah-olah buruh adalah orang rendahan. Karyawan juga adalah buruh, pekerja juga adalah buruh.
Mungkin yang anda maksudkan dari email saudara adalah :  Entrepeneur? Kalau itu yang anda maksudkan, mari kita diskusikan lebih lanjut karena memang inilah tantangan SMK (walaupun saya pikir bukan saja hal ini menjadi tantangan SMK, namun juga perguruan tinggi, dll). Lebih baik mencetak orang yang mampu menciptakan lapangan kerja.
Namun jika yang dimaksud adalah bahwa SMK harus bisa mencetak manusia-manusia yang untuk jadi karyawan midle up (supervisor ke atas) saya pikir terlalu naif (meskipun  tidak ada yang salah seorang lulusan SMK menjadi supervisor atau bahkan manager, karena tergantung kemampuan dia dan tergantung perusahaan menilai dan menempatkannya). Tetapi bukan berarti kurikulum dan tujuan SMK adalah untuk mencetak para manager atau pekerja memengah ke atas (jika anda tidak ingin mengistilahkan manager juga adalah buruh). Tidak bisa semua orang bisa (atau harus) menjadi manager dan tidak ada mejadi bawahan/operator.
Disisi lain perusahaan-perusahaan di Indonesia juga sudah  salah kaprah dalam memetakan (mapping) seorang karyawan. Jenjang pendidikan boleh lah menentukan level standar gaji seseorang, namun bukan satu-satunya. Di luar negeri (terutama di negara tempat saya bekerja menjadi "buruh"), mohon maaf gaji take home pay yang saya terima lebih besar  dibanding manager saya. mengapa bisa? karena di tempat perusahaan saya bekerja, jabatan bukanlah satu-satunya mengukur besar kecilnya gaji, namun yang lebih penting adalah KOMPETENSI seseorang.

Saya hanyalah seorang konsultan, namun alhamdulillah menurut penilaian HRD dan kebutuhan perusahaan, tenaga dan pikiran saya cukup dibutuhkan (menurut istilah mereka
"expertize"), sehingga meskipun saya hanya seorang "buruh" namun jam terbang dan pengalaman saya diakui sebagai penentu kelayakan gaji yang saya terima.
Sehingga di negara tempat saya bekerja (belanda) saya membayar TAX Income lebih besar dibanding bos (manager) saya. Adapun para manager atau level di atasnya menerima gaji
minimum (standar) sesuai kompetensi yang dimilikinya juga, namun kelebihannya dibanding saya adalah mereka menerima tunjangan sesuai dengan jabatannya. Hal itu semata-mata
karena tuntutan perusahaan menuntut performance manager/direktur dalam hubungannya dengan relasi luar (istilahnya facility benefit).

Jadi mohon maaf bahwa saya tidak minder dan malu menjadi "buruh" karena memang saya bukan bos. Nah, cita-cita saya tetap berharap suatu saat saya akan masuk kuadran berikutnya menjadi bos atau entrepenur atau bahkan investor. Amin.


Salam,
Gunawan



Dari:
"bambang soeprijanto"

Ya tinggal kemasan kurikulum aja yg di adjust. Mau SMK mencetak insinyur keq dokter keq; kan tergantung pada tawaran kurikulum. Gak mungkinlah tanpa perubahan kurikulum lantas karena alergi buruh, terus SMK mau cetak pilot? Dokter? Astronot? He..13 x
Dari:
"suwarto"
 
Lulus SMK jurusan penjualan berujung menjadi SPG di Carefour, perkantoran/ sekertaris berujung di KFC atau kalau anda cukup beruntung di ASTRA atau SANYO entah menjadi apa. adik saya yang baru kelas 1 SMP mengasosiasikan buruh sebagai karyawan pabrik. Mudah saja buktinya ; Demo 'buruh' selalu dilakukan karyawan pabrik. Dan kalau itu persepsi banyak orang tentang buruh, maka benarlah bahwa SMK hanya mencetak buruh. Bahkan pengumuman Lowongan di SMK di dominasi Lowongan sebagai 'buruh'. Dan guru-guru Di SMK baru bisa mendidik calon 'BURUH'
oh negriku sayang negriku malang

From: PakPur
Mohon maaf, numpang nimbrung ...
Saya bertanya-tanya kenapa kita selalu "dikembalikan" kepada dua kutub ini ? Dua istilah ini sudah terlalu sering didiskusikan, namun saya belum melihat hasil diskusi itu menjadi matang dan siap diaplikasikan di SMK.
Saya khawatir isyu ini hanya akan dijadikan "pembenar" karena sulitnya menunjukkan link and match di Indonesia. Kejujuran, kerja keras, dan kompetensi menurut saya menjadi kunci pokok bagi siapa pun yang ingin "mengubah nasib". Bisa dibayangkan apa yang akan terjadi jika isyu buruh (baca : kurang kompeten) ini mendapatkan bahan bakar politik yang cukup. Belum lagi ditambah ketidakadila, dst ...
Pertanyaan tunggalnya : lantas apa yang akan diwariskan kepada anak cucu kelak ?
Salam "jujur, kerja keras, kompeten"
PakPur

Dari:
"bambang soeprijanto"
Pak Pur, saya baru bbrp hari lalu di Babel bersua dgn pak Gatot. Disela bincang, saya sampaikan sayapun alumni SMK! Tahun 1971 namanya masih SMEA jurusan Tata Perusahaan! Kagak minder atau apa tuh. Mau disebut buruh keq, TKI keq, Toke atau Tokek sekalipun. Yang penting kan substansi pengetahuan, keterampilan dan sedikit smart utk membaca peluang. Buktinya aku sekarang nyaman2 saja, gak pernah di recokin gara2 label pdk dr kejuruan. Memang sih agak musykil kalau sdh terperangkat di SMK lantas mimpi mau jadi dokter, ya perlu re route lagi! So apapun kata ... Kafilah jalan terus, perbaiki kualitas dan citra serta kepercayaan masyarakay, user ataupun in taker


Dari:
"Frans Thamura"
 
Selagi posisi diknas menunggu
Terus industri pedagang yg maju
Link and match adalah mimpi
(m)



Dari:
"PakPur"
 
Terima kasih tanggapannya ...
Kalau boleh saya menyandarkan harapan, di mana sebenarnya masyarakat (baca:objek didik) menempatkan dirinya ? Hiruk pikik dunia pendidikan sepertinya hanya "panas bergairah" di tataran sekolah saja.
Bagaimana seandainya ada orang tua siswa yang mempertanyakan janji "mampu bekerja" sang anak,  yang ternyata tidak menunjukkan kemampuan yang berarti untuk memperbaiki nasibnya. Saya tidak mengatakan dia harus atau akan menjadi buruh, namun saya yakin jika kemampuan itu melekat pada diri seseorang, maka pada saatnya dia harus survive, kemampuan inilah yang akan "menyelamatkannya".

Pernah pada suatu diskusi informal saya "dibantai" habis-habisan, manakala saya melontarkan usul, jika ada lulusan SMK tidak kompeten, atau kompetensinya ketinggalan zaman, dst, mestinya SMK mengembalikan sekian persen (di atas 20%) dana SPP, sumbangan, dll yang ditarik dari orang tua siswa. Saya menganggap hal ini sebagai pertanggungjawaban moral-material dari SMK yang nyata-nyata menawarkan lembaganya sebagai lembaga diklat.
Mohon maaf jika ada yang kurang berkenan.
Salam "SMK (benar-2) bisa !"
PakPur

Dari:
"Gunawan Raharjo"
 
Benar pak...saya setuju.

Memang seharusnya SMK (yg berbeda dg SMA) dapat saya ibaratkan sebagai sebuah pabrik yg outputnya berupa tenaga kerja trampil siap pakai.

Selayaknya pabrik, maka SMK hrs mampu menerapkan kurikulum yg sesuai dg labor market atau industrial demand.

Meskipun msh dalam skala kecil, kami melakukan beberapa upaya diantaranya membantu sekolah untuk aktif menjemput bola datang ke industri2 dan duduk satu meja mendiskusikan apa dan bagaimana seseorang bisa diterima dan layak bekerja di industri tersebut.

Selanjutnya kamiu melakukan proses tawar, jika seandainya kami mampu menciptakan siswa tersebut sesuai dg kompetensi yg diinginkan oleh industri tsb, apakah mereka siap menampung?

Dan alhamdulillah industri bersedia. Karena di sisi industri hal ini juga merupakan keuntungan (benefit) investasi, daripada mereka hrs mentraining, mendidik, melatih pekerja baru, lebih baik dia menyerap tenaga kerja yg siap pakai.

Salam,
Gunawan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar