Kamis, 17 Juni 2010

(A)WAS-PADA MERENCANAKAN PENDIDIKAN

Pendidikan bagi kebanyakan orang saat ini adalah solusi dalam menyiasati hidup yang akan datang yang diarahkan untuk mewujudkan kesejahteraan manusia itu sendiri.
Maraknya iklan pendidikan, menyebabkan sebagian besar orang tua dan masyarakat kebingungan dalam memilih pendidikan/sekolah. Melalui perencanaan pendidikan sebagai jawaban yang rasional dari analisa antara 'sistematis proses perkembangan pendidikan dengan tujuan hidup,' agar pendidikan itu lebih efektif dan efisien serta sesuai dengan kebutuhan dan tujuan para peserta didik.


Sistematis Proses Perkembangan Pendidikan dengan Tujuan Pendidikan
Terkadang, (tanpa disadari) karena faktor-faktor tertentu, perencanaan pendidikan adalah suatu keterpaksaan pilihan. Atau karena faktor tersebut, dapat mengabaikan kebutuhan dan tujuan utama pendidikan (baca : sekolah). Adapun faktor yang biasa mempengaruhi pilihan antara lain :
1. Terpancing oleh derasnya informasi tentang pendidikan (contoh SMK BISA), tanpa melihat SMK yang seperti apa yang 'bisa.'
2. Keterbatasan faktor ekonomi, hal ini biasanya mempengaruhi dan membatasi pilihan yang terbaik untuk anak maupun dirinya. Masih banyak orang tua dan siswa yang terpaku pada Nilai Hasil UN dan Raport dengan kondisi ekonomi sebagai pembanding, tanpa berani menjual/menawarkan  kemampuan diri (kompetensi dan prestasi) nya. Yang lebih parah lagi, banyak orang tua/anak, yang memaksakan diri untuk mendapatkan pendidikan/sekolah yang diinginkan, tanpa memperhitungkan kemampuan diri dan ekonominya.
3. Perkembangan Teknologi dan Informasi saat ini menjadi patokan/ukuran untuk memilih sekolah atau jurusan, padahal Perkembangan Teknologi dan Informasi penuh ketidakpastian apalagi tidak didukung oleh kemampuan ekonomi. Karena itu, teknologi dan informasi selayaknya ditempatkan sebagai ketrampilan (hardskill) kedua setelah dasar-dasar syarat pekerja/pegawai (dasar-dasar pegawai secara umum : syarat fisik sehat jasmani dan rohani; disiplin; jujur; loyal dan royal dalam bekerja).

Untuk itu kami mengajak (orang tua umumnya dan khususnya calon siswa), menganalisa faktor-faktor tersebut (kemamuan/keinginan berbanding dengan kemampuan : Ekonomi; Akademik; Prestasi) yang disesuaikan dengan perkembangan jaman, agar pendidikan yang akan dipilih dapat efektif dan efisien serta sesuai dengan tujuan hidup nanti.
Bahasa umum adalah konsekuensi logis dari sebuah kondisi dan pilihan atau biasa juga disebut dengan 'mengerti diri.' Sesungguhnya untuk memudahkan dalam pemilihan tersebut adalah, pilihlah sekolah yang menanamkan dasar-dasar syarat bekerja serta sekolah yang memberikan pengalaman kerja yang tersertifikasi, karena ini sesungguhnya pendidikan/sekolah masa depan (School of The Future). Dan sekolah inilah (ilmu yang diberikan) tidak akan pernah tertinggal/tergilas jaman.

Rabu, 09 Juni 2010

mengevaluasi penyelenggaraan pendidikan mengenai Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI).

Agustus Kemendiknas akan menerbitkan regulasi baru tentang  RSBI itu," ungkap Mendiknas Muhammad Nuh  pada rapat kerja dengan Komisi X DPR RI tentang anggaran.
"Soal biaya disesuaikan dengan daerah masing-masing, tidak dapat disamaratakan. Karena, kontribusi pemerintah daerah juga berbeda-beda, dan kita lihat apakah rekrutmennya berdasarkan prestasi atau ekonomi” kata M.Nuh. 
Yang akan dievaluasi tentang kelengkapan sarana dan prasarana serta akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan. "Hal ini sangat penting sehingga pihak sekolah dapat mempertanggungjawabkan di muka hukum jika ada pelanggaran. Terkait dengan pelanggaran," tandasnya. 
Pihak sekolah atau yang terkait dengan penyelenggaraan RSBI dapat dibawa ke muka hukum. Akan tetapi prosesnya berjenjang mulai dari sanksi administrative hingga penutupan.
"Kalau ada bukti-bukti terjadi penyelewengan dana terutama dana block grant baik dari pusat maupun daerah maka dapat saja diproses secara hukum," lanjutnya.
Inspektorat daerah di lingkup pemerintah daerah harus turut serta mengawasi pengelolaan block grant ini.
Sebelumnya, sebanyak 18 RSBI dicabut izinnya karena tidak memenuhi persyaratan pendirian. 18 sekolah yang dicabut izinnya itu terdiri atas 8 SMP, 8 SMK dan 2 SMA. Pencabutan izin dikarenakan standard dan mutu pendidikan di 18 sekolah itu menurun. Penurunan mutu tersebut contohnya karena kemampuan Bahasa Inggris siswa dan  guru menurun, pengembangan silabus dan proses pembelajaran juga menurun.
JAKARTA (Bisnis.com) oleh :Hilda Sabri Sulistyo 

Jumat, 04 Juni 2010

INDIKATOR PENDIDIKAN - 01

On Thu, 3 Jun 2010 11:50:08 +0800 (SGT)
Dwinarputra Ruky <rdwinarputra@yahoo.co.id>

> John Oxenham (1984:34) mengatakan bahwa apabila lulusan suatu sekolah (SMK) dapat dipekerjakan atau memperoleh pekerjaan yang sesuai dengan jenis dan tingkat pendidikan yang dimilikinya, sekolah atau guru-guru dianggap telah berhasil dengan tugasnya. Hal ini berarti sekolah  dianggap mampu memenuhi kebutuhan masyarakat atau dunia kerja.
Bagaimana dengan Statment :
> SMK mencetak BURUH dinegeri sendiri ?  ..................
> Salam

Dari:
"g.raharjo@telkom.net"
Gak masalah kan mas?
Memang cuma ada 2 kelas pekerja: Bos (owner) dan Buruh.
Itu hanya masalah konotasi bahasa yang sudah menjadi  negatif artinya, seolah-olah buruh adalah orang rendahan. Karyawan juga adalah buruh, pekerja juga adalah buruh.
Mungkin yang anda maksudkan dari email saudara adalah :  Entrepeneur? Kalau itu yang anda maksudkan, mari kita diskusikan lebih lanjut karena memang inilah tantangan SMK (walaupun saya pikir bukan saja hal ini menjadi tantangan SMK, namun juga perguruan tinggi, dll). Lebih baik mencetak orang yang mampu menciptakan lapangan kerja.
Namun jika yang dimaksud adalah bahwa SMK harus bisa mencetak manusia-manusia yang untuk jadi karyawan midle up (supervisor ke atas) saya pikir terlalu naif (meskipun  tidak ada yang salah seorang lulusan SMK menjadi supervisor atau bahkan manager, karena tergantung kemampuan dia dan tergantung perusahaan menilai dan menempatkannya). Tetapi bukan berarti kurikulum dan tujuan SMK adalah untuk mencetak para manager atau pekerja memengah ke atas (jika anda tidak ingin mengistilahkan manager juga adalah buruh). Tidak bisa semua orang bisa (atau harus) menjadi manager dan tidak ada mejadi bawahan/operator.
Disisi lain perusahaan-perusahaan di Indonesia juga sudah  salah kaprah dalam memetakan (mapping) seorang karyawan. Jenjang pendidikan boleh lah menentukan level standar gaji seseorang, namun bukan satu-satunya. Di luar negeri (terutama di negara tempat saya bekerja menjadi "buruh"), mohon maaf gaji take home pay yang saya terima lebih besar  dibanding manager saya. mengapa bisa? karena di tempat perusahaan saya bekerja, jabatan bukanlah satu-satunya mengukur besar kecilnya gaji, namun yang lebih penting adalah KOMPETENSI seseorang.

Saya hanyalah seorang konsultan, namun alhamdulillah menurut penilaian HRD dan kebutuhan perusahaan, tenaga dan pikiran saya cukup dibutuhkan (menurut istilah mereka
"expertize"), sehingga meskipun saya hanya seorang "buruh" namun jam terbang dan pengalaman saya diakui sebagai penentu kelayakan gaji yang saya terima.
Sehingga di negara tempat saya bekerja (belanda) saya membayar TAX Income lebih besar dibanding bos (manager) saya. Adapun para manager atau level di atasnya menerima gaji
minimum (standar) sesuai kompetensi yang dimilikinya juga, namun kelebihannya dibanding saya adalah mereka menerima tunjangan sesuai dengan jabatannya. Hal itu semata-mata
karena tuntutan perusahaan menuntut performance manager/direktur dalam hubungannya dengan relasi luar (istilahnya facility benefit).

Jadi mohon maaf bahwa saya tidak minder dan malu menjadi "buruh" karena memang saya bukan bos. Nah, cita-cita saya tetap berharap suatu saat saya akan masuk kuadran berikutnya menjadi bos atau entrepenur atau bahkan investor. Amin.


Salam,
Gunawan



Dari:
"bambang soeprijanto"

Ya tinggal kemasan kurikulum aja yg di adjust. Mau SMK mencetak insinyur keq dokter keq; kan tergantung pada tawaran kurikulum. Gak mungkinlah tanpa perubahan kurikulum lantas karena alergi buruh, terus SMK mau cetak pilot? Dokter? Astronot? He..13 x
Dari:
"suwarto"
 
Lulus SMK jurusan penjualan berujung menjadi SPG di Carefour, perkantoran/ sekertaris berujung di KFC atau kalau anda cukup beruntung di ASTRA atau SANYO entah menjadi apa. adik saya yang baru kelas 1 SMP mengasosiasikan buruh sebagai karyawan pabrik. Mudah saja buktinya ; Demo 'buruh' selalu dilakukan karyawan pabrik. Dan kalau itu persepsi banyak orang tentang buruh, maka benarlah bahwa SMK hanya mencetak buruh. Bahkan pengumuman Lowongan di SMK di dominasi Lowongan sebagai 'buruh'. Dan guru-guru Di SMK baru bisa mendidik calon 'BURUH'
oh negriku sayang negriku malang

From: PakPur
Mohon maaf, numpang nimbrung ...
Saya bertanya-tanya kenapa kita selalu "dikembalikan" kepada dua kutub ini ? Dua istilah ini sudah terlalu sering didiskusikan, namun saya belum melihat hasil diskusi itu menjadi matang dan siap diaplikasikan di SMK.
Saya khawatir isyu ini hanya akan dijadikan "pembenar" karena sulitnya menunjukkan link and match di Indonesia. Kejujuran, kerja keras, dan kompetensi menurut saya menjadi kunci pokok bagi siapa pun yang ingin "mengubah nasib". Bisa dibayangkan apa yang akan terjadi jika isyu buruh (baca : kurang kompeten) ini mendapatkan bahan bakar politik yang cukup. Belum lagi ditambah ketidakadila, dst ...
Pertanyaan tunggalnya : lantas apa yang akan diwariskan kepada anak cucu kelak ?
Salam "jujur, kerja keras, kompeten"
PakPur

Dari:
"bambang soeprijanto"
Pak Pur, saya baru bbrp hari lalu di Babel bersua dgn pak Gatot. Disela bincang, saya sampaikan sayapun alumni SMK! Tahun 1971 namanya masih SMEA jurusan Tata Perusahaan! Kagak minder atau apa tuh. Mau disebut buruh keq, TKI keq, Toke atau Tokek sekalipun. Yang penting kan substansi pengetahuan, keterampilan dan sedikit smart utk membaca peluang. Buktinya aku sekarang nyaman2 saja, gak pernah di recokin gara2 label pdk dr kejuruan. Memang sih agak musykil kalau sdh terperangkat di SMK lantas mimpi mau jadi dokter, ya perlu re route lagi! So apapun kata ... Kafilah jalan terus, perbaiki kualitas dan citra serta kepercayaan masyarakay, user ataupun in taker


Dari:
"Frans Thamura"
 
Selagi posisi diknas menunggu
Terus industri pedagang yg maju
Link and match adalah mimpi
(m)



Dari:
"PakPur"
 
Terima kasih tanggapannya ...
Kalau boleh saya menyandarkan harapan, di mana sebenarnya masyarakat (baca:objek didik) menempatkan dirinya ? Hiruk pikik dunia pendidikan sepertinya hanya "panas bergairah" di tataran sekolah saja.
Bagaimana seandainya ada orang tua siswa yang mempertanyakan janji "mampu bekerja" sang anak,  yang ternyata tidak menunjukkan kemampuan yang berarti untuk memperbaiki nasibnya. Saya tidak mengatakan dia harus atau akan menjadi buruh, namun saya yakin jika kemampuan itu melekat pada diri seseorang, maka pada saatnya dia harus survive, kemampuan inilah yang akan "menyelamatkannya".

Pernah pada suatu diskusi informal saya "dibantai" habis-habisan, manakala saya melontarkan usul, jika ada lulusan SMK tidak kompeten, atau kompetensinya ketinggalan zaman, dst, mestinya SMK mengembalikan sekian persen (di atas 20%) dana SPP, sumbangan, dll yang ditarik dari orang tua siswa. Saya menganggap hal ini sebagai pertanggungjawaban moral-material dari SMK yang nyata-nyata menawarkan lembaganya sebagai lembaga diklat.
Mohon maaf jika ada yang kurang berkenan.
Salam "SMK (benar-2) bisa !"
PakPur

Dari:
"Gunawan Raharjo"
 
Benar pak...saya setuju.

Memang seharusnya SMK (yg berbeda dg SMA) dapat saya ibaratkan sebagai sebuah pabrik yg outputnya berupa tenaga kerja trampil siap pakai.

Selayaknya pabrik, maka SMK hrs mampu menerapkan kurikulum yg sesuai dg labor market atau industrial demand.

Meskipun msh dalam skala kecil, kami melakukan beberapa upaya diantaranya membantu sekolah untuk aktif menjemput bola datang ke industri2 dan duduk satu meja mendiskusikan apa dan bagaimana seseorang bisa diterima dan layak bekerja di industri tersebut.

Selanjutnya kamiu melakukan proses tawar, jika seandainya kami mampu menciptakan siswa tersebut sesuai dg kompetensi yg diinginkan oleh industri tsb, apakah mereka siap menampung?

Dan alhamdulillah industri bersedia. Karena di sisi industri hal ini juga merupakan keuntungan (benefit) investasi, daripada mereka hrs mentraining, mendidik, melatih pekerja baru, lebih baik dia menyerap tenaga kerja yg siap pakai.

Salam,
Gunawan

TES MASUK

Tes masuk sekolah atau tes penjurusan, sampai saat ini sering mengahadapi kritik, salah satunya adalah hubungan antara materi tes dengan kurikulum. Keterkaitan ini menimbulkan masalah ketidak-adilan (unfairness). Hal ini dapat dilihat dari beragamnya kompetensi siswa yang masuk dengan latar belakang sekolah yang berbeda dan kondisi sosial yang berbeda pula. Kenyataan ini lah yang belum banyak diperhatikan oleh sebagian besar sekolah yang membuat/melakukan tes saringan masuk dan bahkan tes penjurusan.
Masalah yang lebih pelik lagi berhubungan dengan tes adalah ketika tes sebagai indikator untuk mengukur potensi siswa. Maka akan terjadi hasil siswa yang mampu dan tidak mampu. Bagi yang mampu, mereka dapat melanjutkan di sekolah yang bersangkutan. Dan bagi yang tidak mampu harus mencari sekolah penampungan/berikutnya. Ironisnya sekolah penampungan tersebut, harus meluluskan dengan indikator yang sama dengan sekolah yang mengadakan tes/seleksi masuk yang notabene siswanya adalah siswa terpilih/dipilih.

PENDIDIKAN DENGAN HATI NURANI
Kalau semua sekolah berpresepsi : bahwa "Penerimaan Siswa Baru sebagai kegiatan/proses dalam menjaring calon siswa yang berkualitas" artinya pendidikan adalah untuk orang yang mampu, baik dari segi potensi akademiknya maupun dari segi sosial-ekonominya. Dan artinya lagi, pendidikan tidak sama dengan pendidikan yang diamanhkan UUD 45, bahwa "Pasal 31
(1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.
(2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
"
Ada yang terlupakan dari sebuah kata ‘pendidikan’ oleh kita, bahwa pendidikan bukanlah pengajaran (seperti kursus atau pada pendidikan nonformal pada umumnya). Bahwa pendidikan adalah upaya kebudayaan (Ki Hajar Dewantara), dimana dalam upaya tersebut dilaksanakan dalam bentuk menumbuh-kembangkan jiwa dan raga sang anak melalui kemerdekaan lahir batin sesuai kodratnya, agar anak memiliki bekal untuk mengarungi kehidupannya sesuai jamannya nanti, dengan jiwa dan raga yang merdeka..
Kalau indikator pendidikan sesuai dengan yang diartikan oleh Ki Hajar tersebut, artinya pendidikan berfungsi untuk me-merdeka-kan anak, melalui proses yang merdeka (sistem among), dengan menjaga tertib damainya kehidupan yang salam dan bahagia.
Mendidik/memerdekakan anak hanya dapat dilakukan dengan sistem among atau pendidikan dengan hati nurani. Tidak ada kepentingan; tidak ada paksaan; bahkan tidak ada larangan; sepanjang tidak mengganggu tertib damainya kehidupan.