Tes masuk sekolah atau tes penjurusan, sampai saat ini sering mengahadapi kritik, salah satunya adalah hubungan antara materi tes dengan kurikulum. Keterkaitan ini menimbulkan masalah ketidak-adilan (unfairness). Hal ini dapat dilihat dari beragamnya kompetensi siswa yang masuk dengan latar belakang sekolah yang berbeda dan kondisi sosial yang berbeda pula. Kenyataan ini lah yang belum banyak diperhatikan oleh sebagian besar sekolah yang membuat/melakukan tes saringan masuk dan bahkan tes penjurusan.
Masalah yang lebih pelik lagi berhubungan dengan tes adalah ketika tes sebagai indikator untuk mengukur potensi siswa. Maka akan terjadi hasil siswa yang mampu dan tidak mampu. Bagi yang mampu, mereka dapat melanjutkan di sekolah yang bersangkutan. Dan bagi yang tidak mampu harus mencari sekolah penampungan/berikutnya. Ironisnya sekolah penampungan tersebut, harus meluluskan dengan indikator yang sama dengan sekolah yang mengadakan tes/seleksi masuk yang notabene siswanya adalah siswa terpilih/dipilih.
PENDIDIKAN DENGAN HATI NURANI
Kalau semua sekolah berpresepsi : bahwa "Penerimaan Siswa Baru sebagai kegiatan/proses dalam menjaring calon siswa yang berkualitas" artinya pendidikan adalah untuk orang yang mampu, baik dari segi potensi akademiknya maupun dari segi sosial-ekonominya. Dan artinya lagi, pendidikan tidak sama dengan pendidikan yang diamanhkan UUD 45, bahwa "Pasal 31
(1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.
(2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya."
(1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.
(2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya."
Ada yang terlupakan dari sebuah kata ‘pendidikan’ oleh kita, bahwa pendidikan bukanlah pengajaran (seperti kursus atau pada pendidikan nonformal pada umumnya). Bahwa pendidikan adalah upaya kebudayaan (Ki Hajar Dewantara), dimana dalam upaya tersebut dilaksanakan dalam bentuk menumbuh-kembangkan jiwa dan raga sang anak melalui kemerdekaan lahir batin sesuai kodratnya, agar anak memiliki bekal untuk mengarungi kehidupannya sesuai jamannya nanti, dengan jiwa dan raga yang merdeka..
Kalau indikator pendidikan sesuai dengan yang diartikan oleh Ki Hajar tersebut, artinya pendidikan berfungsi untuk me-merdeka-kan anak, melalui proses yang merdeka (sistem among), dengan menjaga tertib damainya kehidupan yang salam dan bahagia.
Mendidik/memerdekakan anak hanya dapat dilakukan dengan sistem among atau pendidikan dengan hati nurani. Tidak ada kepentingan; tidak ada paksaan; bahkan tidak ada larangan; sepanjang tidak mengganggu tertib damainya kehidupan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar