Saudaraku yang saya kasihi,
Yang perlu kita jadikan pegangan bersama adalah ‘semua yang terjadi di dunia ini tidak ada yang mustahil, yang ada karena keterbatasan pikiran dan penglihatan. Hal tersebut terkadang membuat kita tidak dapat melihat yang sudah, sedang, dan akan terjadi, tidak begitu jelas bahkan seolah diluar nalar kita. Yang terpenting untuk kita hindari, dengan menyadari hal tersebut kita tidak saling menyalahkan dan kita dihindari juga menuduh orang lain berbuat yang tidak atau kurang baik.
Begitu pula dengan hasil UN yang baru saja di umumkan, banyak saudara kita terkejut/kaget karena nilai yang didapat oleh seorang siswa/peserta ujian mencapai 8, 9 bahkan 10. Ditambah, nilai tersebut didapat oleh siswa yang memiliki sejarah pendidikan yang kurang baik, sedangkan sebaliknya terjadi pada siswa yang memiliki sejarah pendidikan yang baik malah mendapatkan nilai dibawah rata-rata bahkan ada yang tidak lulus.
Saudaraku yang terkasih,
Marilah kita bersama mengakui kekurangan dan keterbatasan kita bersama, dari pada hal tersebut kita lempar kepada orang lain, bahkan para pemimpin kita. Untuk para pemimpin kita mari kita do’akan bersama agar mereka diberikan limpahan kesehatan, sehingga mereka juga dapat melihat dan mengerti arti kekurangan dan keterbatasan tersebut.
Ada yang terlupakan dari sebuah kata ‘pendidikan’ oleh kita, bahwa pendidikan bukanlah pengajaran (seperti kursus atau pada pendidikan nonformal pada umumnya). Bahwa pendidikan adalah upaya kebudayaan (Ki Hajar Dewantara), dimana dalam upaya tersebut dilaksanakan dalam bentuk menumbuh-kembangkan jiwa dan raga anak melalui kemerdekaan lahir batin sesuai kodratnya, agar anak memiliki bekal untuk mengarungi kehidupannya sesuai jamannya nanti, dengan jiwa dan raga yang merdeka.
Marilah kita mengkaji bersama pengertian diatas , yang berhubungan dengan Hasil UN:
1. Prinsip dasar pemikiran :
Tidak mungkin ada hasil yang baik, tanpa persiapan dan proses yang baik. Persiapan yang kita bekali kepada siswa sering bahkan kadang melupakan pembekalan jiwa/mental siswa, bahwa pada saatnya nanti mereka akan/harus diuji oleh orang lain, bahwa ujian tersebut siswa sendirian/tidak ada lagi bimbingan yang artinya siswa harus betul-betul memiliki keyakinan penuh dalam menjawab pada saat ujian nanti.
Anak kita siapkan sejak dini untuk terbiasa di uji atau dinilai orang lain, dengan suasana yang hampir mirip dengan suasana UN. Hal ini dilakukan dalam upaya membina mental sang anak.
Sehingga terlihat jelas, bahwa siswa yang mendapat nilai baik pastilah siswa yang memiliki salah satu syarat yaitu mempersiapkan mentalnya atau siswa yang memiliki kodrat mental yang lebih baik atau siswa yang memiliki keyakinan penuh.
2. Sebagai usaha kebudayaan, kita terkadang kurang bahkan lupa memperhatikan pada pertumbuh-perkembangan jiwa sang anak, apalagi yang sesuai kodratnya. Begitu pula pada saat proses pembekalan materi, cenderung kita melupakan bahwa pendidikan bukan pengajaran, pendidikan adalah usaha kebudayaan yang dilakukan melalui menumbuh-kembangkan jiwa dan raga sesuai kodratnya. Karena kita mengejar materi/kurikulum, sehingga kita lupa bahwa proses belajar-mengajar harus menyenangkan anak, atau sesuai dengan kodratnya. Sewajarnya untuk materipun harus dipilih/disesuaikan dengan kodrat sang anak, sehingga anak benar-benar dapat memiliki jiwa merdeka, atau kesenangan pada apa yang sedang dan akan dikerjakannya.
Kita sebagai pembimbing/pengasuh, selalu mengamati/menganalisa kemajuan belajar anak melalui analisa soal. Data analisa tersebut yang nantinya akan dikembangkan menjadi kebijakan dalam pemberian materi berikutnya yang disesuai dengan kodrat sang anak.
Kita juga harus selalu mengembangkan cara pendekatan kepada sang anak, dengan bimbingan yang lebih intensif, sehingga kita mengetahui kodrat anak tersebut.
3. Dan yang tidak kalah pentingnya, kita sering terbawa kepada pengertian umum bahwa pendidikan sama dengan sekolah. Sehingga kita terbawa pada penilaian mereka, bahwa letak atau tolak ukur keberhasilan pendidikan ada di sekolah atau guru/pengasuh/pembimbing. Padahal suah jelas pendidikan oleh Ki Hajar Dewantara terdiri dari 3 sektor yang tidak terpisahkan, dan sekolah pada umumnya tidak lebih hanya memiliki 5 sampai 8 jam atau atau maksimal 1/3 bagian dari keseluruhan kehidupan sang anak, sisanya pendidikan ada di keluarga dan masyarakat. Maka kurang tepat rasanya apabila hasil pendidikan dibebankan hanya pada sekolah, ajaklah mereka (keluarga dan masyarakat) untuk ikut bersama menumbuh-kembangkan jiwa raga sang anak dalam upaya menyukseskan UN. Hal ini dapat dilakukan dengan peningkatan perhatian dan kepdulian orang tua dan masyarakat akan proses pembimbingan UN.
Saudara-saudaraku yang akan dilipat gandakan rahmatnya oleh Tuhan Yang Maha Esa, karena saudaraku adalah orang yang padai mensyukuri nikmat Nya dengan menjaga perbuat yang kurang baik (menyalahkan, menuduh bahkan memfitnah) orang lain bahkan para pemimpinnya sendiri. Karena sesungguhnya, perbuatan itu (menyalahkan, menuduh bahkan memfitnah), sama dengan memperlakukan terhadap yang menciptakan (Tuhan Yang Maha Esa).
Melalui kajian hati nurani diatas, marilah kita sama memahami kekurangan dan keterbatasan kita sebagai wujud syukur kita, dan dengan ikhlas pula mari kita doa kan bersama para pemimpin kita (Presiden, DPR, Mendiknas, dan Dinas Pendidikan) sebagai pemegang kebijakan agar selalu dibukakan pintu hati nuraninya atas keterbatasan dan kekurangan yang sama dimiliki setiap manusia, sehingga apa yang diputuskan/kebijakan dapat lah menjadi rahmat untuk kita semua,
Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar