Ada kenyataan terang di depan mata, bahwa dunia pendidikan dan dunia usaha seolah dua dunia yang sulit disatukan dalam formula pengembangan yang selaras. Pendidikan masih dikuasai model formal dengan indikator-indikator nilai ujian, sedangkan dunia usaha membutuhkan kecerdasan dan kecakapan terampil mengelola usaha sehingga survive menghasilkan keuntungan.
Jurang dunia pendidikan dan dunia usaha itu, mengental menjadi jurang dunia teori dan praktek, dunia pemikiran dan pengalaman, atau dunia ilmu dan amal. Dua dunia yang sebenarnya satu realitas alamiah, namun dipisahkan oleh formalisasi dan institusionaisasi proses kehidupan. Pendidikan menjadi lembaga teori, pemikiran, dan ilmu, sedangkan dunia usaha adalah lembaga praktek, pengalaman, atau amal untuk mengembangkan hidup dengan mencari pemenuhan kebutuhan ekonomi. Bahkan dunia pendidikan telah menjadi lembaga yang membiaskan bayangan gelap ketidakadilan karena membuka pintu hanya untuk kalangan yang mampu membayar. Sementara dunia usaha menjadi lembaga yang setali tujuh uang, karena tetap saja mensyaratkan selembaran sertifikat dan semacamnya dari lembaga pendidikan formal.
Padahal, tidak terbantahkan, kalau berkembangnya dua dunia itu selalu dalam satu proses siklus kehidupan yang tidak dapat dipisahkan. Manusia mulanya mengalami hidup karena diciptakan, lalu merasakan dan memikirkan pengalamannya, merumuskan pengetahuan secara sistematik, mempraktekkan untuk mempertahankan hidupnya menjadi lebih baik, merumuskan lagi pengetahuan, mengamalkan lagi dalam pengalaman, dan seterusnya. Sebuah siklus bola salju kehidupan yang menggelinding semakin kaya hasih dialektika pengetahuan dan pengalaman, pengalaman dan pengetahuan.
Kesadaran ini bukan hal baru. Sudah banyak gagasan dan model yang lahir dari kesadaran ini. Bahkan sudah banyak muncul berbagai bentuk kelembagaan yang menyatukan dunia pendidikan dan dunia usaha. Tetapi kenyataan memetakan berbagai angka dan data yang menunjukkan bahwa pengangguran terbuka maupun terselubung masih tinggi. Dunia usaha yang tersedia belum mampu menyerap angkatan kerja yang dihasilkan lembaga pendidikan. Belum yang tidak sempat mengenyam pendidikan atau berpendidikan rendah. Merintis dan mengembangkan usaha sendiri pun, tidak memiliki kemampuan modal untuk memulainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar